
Oleh: Coco Kokarkin, Senior Aquaculturist
Budidaya perikanan atau akuakultur termasuk disiplin ilmu usaha bidang pangan yang tergolong paling muda namun telah secara signifikan memberi sumbangsih yang tinggi pada ketahanan nutrisi dunia, selain sebagai lahan usaha penghasil devisa dan penciptaan lapangan kerja. Secara alami, masing-masing lokasi produksi ikan budidaya dibatasi oleh daya dukung (aquaculture carrying capacity) yang ditentukan oleh volume air, kesuburan dari nutrient terlarut, serta stok oksigen dalam air yang berkorelasi positif terhadap kehidupan ikan dan mikroba di dalamnya. Sebagai contoh sederhana, tambak tradisional yang tergenang dan subur akan menopang produksi udang 200 kg/ha atau ikan bandeng 400 kg/ha tanpa input apapun. Bila air terganti melalui pasang surut air laut sebanyak 2 kali per bulan maka produksinya akan naik menjadi 250 kg dan 500 kg. Peningkatan daya dukung ini terjadi karena tersedianya tambahan oksigen dan nutrient saat air baru masuk tambak.
Pembudidaya skala kecil adalah kelompok masyarakat yang sangat mengandalkan kemurahan alam dalam keterbatasan modal dan/atau areal lahan. Bila komoditas yang dipilih pembudidaya skala kecil memiliki nilai jual yang tinggi maka pada siklus selanjutnya metode yang diterapkan adalah tetap namun areal kolamnya diperluas. Hal ini cukup ditentang oleh pihak lain dan pemerintah serta beresiko mendapatkan penolakan dari konsumen yang sangat peduli pada perubahan lingkungan hidup terutama karena perluasan lahan mengakibatkan dampak penting terutama untuk habitat kritis atau sensitive.
Untuk meningkatkan produksi, pembudidaya dapat melakukan intervensi teknologi yang langsung berperan pada peningkatan daya dukung. Oksigen terlarut bagi sebagian besar masyarakat dirasa sudah cukup bila ikan masih hidup walaupun di malam harinya semua ikan berkumpul pada permukaan air. Kelarutan oksigen bagi ikan berinsang sejati memiliki beberapa kategori, yaitu Fatal (0- 1 ppm); stress hingga pertumbuhan minus (1-2 ppm); sub-optimal, ikan makan tapi tidak tumbuh (2-3 ppm); optimal, ikan makan dan tumbuh (3-4 ppm); baik, bila ikan makan dan hemat pakan (>4 ppm). Jadi hanya dengan mengetahui tingkat kelarutan oksigen harian, seorang pembudidaya akan mampu menentukan strategi pergantian air, agar ikannya dapat tumbuh dengan baik. Menjaga oksigen terlarut agar selalu tinggi adalah langkah pertama untuk meningkatkan produksi ikan budidaya melalui positifnya pertumbuhan dan rendahnya FCR (Feed Conversion Ratio).
Bila sebuah lingkungan kolam sudah diatur sehingga terbukti dapat mendukung pertumbuhan ikan lebih panjang dalam satu hari, pertumbuhan biomassa ikan tetap akan terbatas karena terbatasnya input nutrient kedalam sistem, sehingga perlu dilakukan pemberian pakan yang merupakan tahap lanjutan peningkatan produksi.

Langkah-langkah intervensi teknologi aerasi dan pemberian pakan yang baik dapat membuat seorang pembudidaya skala kecil mencapai produksi lebih tinggi di lahan kolam yang lebih kecil dan dalam waktu yang lebih singkat. Penambahan biaya investasi berupa sarana produksi akan dikompensasikan melalui penambahan produksi dan produktivitas (frekuensi panen). Aplikasi teknologi pada pembudidaya kecil akan berarti pengamatan dan penanganan yang lebih teratur, terjadwal dan dengan perhitungan yang sesuai dengan standar. Hal yang masih beresiko dalam aplikasi teknologi selanjutnya justru tenaga teknis/operator yang memiliki jam biologis berbeda dengan ikan yang dipelihara. Keengganan keluar rumah saat hujan dan malam hari adalah kodrat yang sangat manusiawi, namun dapat berakibat fatal pada ikan yang dipelihara. Hanya dengan menerapkan timer seharga Rp 50.000,- pada aerator atau alat penebar pakan (auto-feeder) maka masalah human error sudah teratasi. Pengetahuan pada prinsip prinsip dasar tentang biologis ikan, elektronika, dan hidrofisika adalah bekal kita untuk secara jeli menentukan teknologi apa yang harus diciptakan, diadopsi dan di analogikan agar menjadi investasi yang efektif dan untuk menghindari dampak kerugian secara ekonomi dan lingkungan.
